Secangkir Kopi
Lelaki itu
terjerembab di antara kabut gelap dan hujan angin yang menderu, namun yang ia
lakukan hanya satu; menyorotkan matanya pada satu pandangan, menjurus tajam
melewati kaca kedai tua yang mulai retak. Sorot mata yang bergaris keras. Hingga
kepulan asap dari secangkir kopi yang di genggam seseorang di dalam sana,
berdenyar karenanya.
Kepulan asap
itu perlahan berpendar, seseorang yang memesannya membiarkan benda itu dingin
bahkan jika bisa ia biarkan beku itu menjadi. Sesekali yang dilakukannya hanya
mengaduk perlahan dengan sejurus tatapan kosong ke depan, searah dengan meja
pemilik kedai bertubuh gempal yang sedari tadi memerhatikan pemesannya dengan
jengkel, maksud hati ingin menyuruh saja biarkan ia beranjak pergi meninggalkan
secangkir kopinya.
“Kamu
menungguku.”
Pecah.
Pemilik kedai
dibuat uring-uringan oleh ulah pemesannya. Dalam intuisinya, ia merutuk
kehadiran pemesan yang pasif lagi aneh ini. Bagaimana lah, hanya sebab telinganya
menangkap dua kata, ia memecahkan cangkir dengan kopi yang hambar. Dingin. Cangkir
ketujuhnya, untuk hari ini.
“Lemah. Rapuh.”
Kali ini,
seseorang itu mendongak kearah suara berat yang terdengar bertekstur seperti
beludru. Seseorang itu, perempuan yang kini dua benda dalam tubuhnya sedang
tidak berfungsi secara singkron. Intuisinya ingin sekali memukul pergi lelaki
itu, kala nalurinya membenarkan perkataan lelaki itu; dan ingin sekali
perempuan ini berhambur memeluknya, agar bagian rapuh dalam dirinya tidak lagi
berporos pada kehampaan, bahwa ia akan merasa lengkap kembali.
Perempuan ini
masih tidak bergeming, sampai mungkin akhirnya ia akan memesan cangkir ke
delapan –dan mungkin ke Sembilan, agar lelaki yang berdiri dengan postur acuh
di hadapannya dapat menemaninya, menunggu cangkir-cangkir itu dingin kembali.
“Pesanlah,
turuti intuisimu.”
Dua. Jari tangan
perempuan itu mengisyaratkan pesanan selanjutnya. Merasa kehadirannya telah
diterima, lelaki itu duduk; tepat berhadapan dengan sorot mata perempuan itu
yang lurus dan kosong.
“Tatapanmu,
belum berubah. Masih kosong.” Lelaki itu meletakkan punggung tangannya pada
pipi perempuan di hadapannya. Tradisi mereka di masa lampau, mengatakan; aku
merindukanmu.
Pesanan dua
cangkir kopi telah tiba, dan sepertinya perempuan ini tidak akan membiarkan
mereka dingin untuk ke sekian kalinya. Pelupuk matanya mulai dipenuhi rasa
hangat, hingga tetesan itu membuat jalur sendiri di wajahnya.
Perempuan itu
mengerjap, dan akhirnya buka suara. “Aku ingin bicara, tolong simak lisanku,
catat dalam intuisimu.”
“Sejak
dulu, selalu, dan selamanya akan tetap begitu.” Sang lelaki tersenyum samar.
“Aku selalu
ke tempat ini, membuang waktu, tanpa pikiran apapun kecuali satu; memikirkan
kabarmu. Kenapa datang? Aku telah terbiasa menyesap kopi yang dingin, tidak
perlu suasana hangat atas keberadaanmu.”
“Aku
selalu melewati tempat ini, memerhatikan kekosongan dalam matamu, dan kepulan
asap cangkir kopimu. Aku telah terbiasa melihat sorot kosong matamu, aku perlu
untuk merasa tidak terbiasa. Agar aku dapat menyematkan semangat di matamu,
dengan –mungkin, kehadiranku.”
“Sejak
kapan?”
“Selalu.”
“Kapan?”
“Sejak
semesta tak lagi mengatur pertemuan kita.”
“Aku tidak
ingin mengingatnya.”
Perempuan
itu telah menyesap setengah dari secangkir penuh kopinya selagi hangat, ia
mulai menikmati kafein yang menjalar pada tubuhnya, hangat. Ia mulai
mengingatnya.
Lelaki itu
beranjak dari kursinya. “ikut aku.”
“Tidak,
selagi kopiku belum habis.”
“Aku akan
mengajakmu kembali kemari, janji.”
“Kau
pernah mengatakannya, dulu.”
“Lalu?”
“Kau
ingkar. Kau pergi, dan yang mengajakku kembali kemari adalah intuisiku; yang
sepertinya telah menyatu dengan intuisimu, hingga akhirnya semesta mengatur
pertemuan kita kembali.”
“Kau telah
mengingatnya.”
“Aku?”
“Kita. Intuisimu,
dan intuisiku. Bersama semesta.”
“Aku
memang sering membuang waktuku di tempat ini, tapi kali ini aku sedang tidak
bermaksud untuk melakukannya. Perjelaslah.”
Lelaki itu
mengambil cangkir kopinya yang masih penuh, dengan kepulan asap yang belum
berpendar sama sekali. Kemudian, ditumpahkannya. Pandangan perempuan itu
bergeser, mengikuti alur tumpahnya kopi ke lantai kayu yang mulai berayap. Pemilik
kedai hendak beranjak dari tempatnya untuk membereskan –bukan, bukan cairan
kopi itu, namun kedua pemesan yang berulah menjengkelkan. Layaknya dahulu. Pemilik
kedai itu pun mengingatnya.
Suara berat
lelaki itu memecah keheningan suasana dalam kedai dengan rinai hujan di luar
sana, yang menyisakan gemericik, menyentuh atap kayu kedai tua itu.
Katanya, “aku
bermaksud untuk melarangmu. Melarang ke kosongan yang kau ciptakan dari sorot
matamu. Melarangmu mendinginkan kopi yang kau pesan oleh dingin hujan dengan
angin yang menusuk. Melarangmu berbuat bodoh sendirian, karena itu cara untuk
mencegahku berbuat bodoh –sendirian juga. Karena sejak kau berbuat bodoh di
dalam sini, aku melakukannya di luar sana. Menyaksikanmu. Sendirian. Memastikanmu,
kau dalam keadaan baik. Tapi tidak, karena kopi itu tidak lagi menghangatkanmu.
Kopi itu hanya membuatmu merasa lemah, dan rapuh. Tanpaku.”
“Aku
mengingatnya.”
“Kita,
selalu mengingatnya.”
“Aku akan
menyingkirkan benda ini dari hadapanku, dan akan kulakukan itu di hadapanmu.” Perempuan
itu memecah paksa secangkir kopi yang tinggal hampas. Pemilik kedai kembali
menghela nafas, kerjaan lagi.
Lelaki itu
tersenyum samar, ia selalu melakukan hal itu. “Bagaimana dengan cerita baru?”
“Cerita
baru?”
“Kau dan
aku.”
“Bagaimana
dengan semesta?”
“Kita atur
skenarionya, biar semesta yang menentukan kemana arahnya bermuara.”
Perempuan itu
tersenyum. Kilat di matanya saling menyambar dengan kilat di atap kedai tua,
sepertinya hujan akan turun kembali.
"atur saja."
1 comments:
Blackjack and roulette tables in a casino - Kid
Blackjack and roulette tables in a casino. This page shows 피망포커머니상 the 더킹 바카라 different table types available, as 오피주소 well as casino variations to 바카라 총판 모집 bet on. 토큰 룰렛 Blackjack
Post a Comment