Welcome to my blog, dearest visitors! ©Ghina's Blog

Secangkir Kopi

Secangkir Kopi

        Lelaki itu terjerembab di antara kabut gelap dan hujan angin yang menderu, namun yang ia lakukan hanya satu; menyorotkan matanya pada satu pandangan, menjurus tajam melewati kaca kedai tua yang mulai retak. Sorot mata yang bergaris keras. Hingga kepulan asap dari secangkir kopi yang di genggam seseorang di dalam sana, berdenyar karenanya.

        Kepulan asap itu perlahan berpendar, seseorang yang memesannya membiarkan benda itu dingin bahkan jika bisa ia biarkan beku itu menjadi. Sesekali yang dilakukannya hanya mengaduk perlahan dengan sejurus tatapan kosong ke depan, searah dengan meja pemilik kedai bertubuh gempal yang sedari tadi memerhatikan pemesannya dengan jengkel, maksud hati ingin menyuruh saja biarkan ia beranjak pergi meninggalkan secangkir kopinya.

        “Kamu menungguku.”

        Pecah.

        Pemilik kedai dibuat uring-uringan oleh ulah pemesannya. Dalam intuisinya, ia merutuk kehadiran pemesan yang pasif lagi aneh ini. Bagaimana lah, hanya sebab telinganya menangkap dua kata, ia memecahkan cangkir dengan kopi yang hambar. Dingin. Cangkir ketujuhnya, untuk hari ini.

        “Lemah. Rapuh.”

        Kali ini, seseorang itu mendongak kearah suara berat yang terdengar bertekstur seperti beludru. Seseorang itu, perempuan yang kini dua benda dalam tubuhnya sedang tidak berfungsi secara singkron. Intuisinya ingin sekali memukul pergi lelaki itu, kala nalurinya membenarkan perkataan lelaki itu; dan ingin sekali perempuan ini berhambur memeluknya, agar bagian rapuh dalam dirinya tidak lagi berporos pada kehampaan, bahwa ia akan merasa lengkap kembali.

        Perempuan ini masih tidak bergeming, sampai mungkin akhirnya ia akan memesan cangkir ke delapan –dan mungkin ke Sembilan, agar lelaki yang berdiri dengan postur acuh di hadapannya dapat menemaninya, menunggu cangkir-cangkir itu dingin kembali.

        “Pesanlah, turuti intuisimu.”

        Dua. Jari tangan perempuan itu mengisyaratkan pesanan selanjutnya. Merasa kehadirannya telah diterima, lelaki itu duduk; tepat berhadapan dengan sorot mata perempuan itu yang lurus dan kosong.

        “Tatapanmu, belum berubah. Masih kosong.” Lelaki itu meletakkan punggung tangannya pada pipi perempuan di hadapannya. Tradisi mereka di masa lampau, mengatakan; aku merindukanmu.

        Pesanan dua cangkir kopi telah tiba, dan sepertinya perempuan ini tidak akan membiarkan mereka dingin untuk ke sekian kalinya. Pelupuk matanya mulai dipenuhi rasa hangat, hingga tetesan itu membuat jalur sendiri di wajahnya.

        Perempuan itu mengerjap, dan akhirnya buka suara. “Aku ingin bicara, tolong simak lisanku, catat dalam intuisimu.”

        “Sejak dulu, selalu, dan selamanya akan tetap begitu.” Sang lelaki tersenyum samar.

        “Aku selalu ke tempat ini, membuang waktu, tanpa pikiran apapun kecuali satu; memikirkan kabarmu. Kenapa datang? Aku telah terbiasa menyesap kopi yang dingin, tidak perlu suasana hangat atas keberadaanmu.”

        “Aku selalu melewati tempat ini, memerhatikan kekosongan dalam matamu, dan kepulan asap cangkir kopimu. Aku telah terbiasa melihat sorot kosong matamu, aku perlu untuk merasa tidak terbiasa. Agar aku dapat menyematkan semangat di matamu, dengan –mungkin, kehadiranku.”

        “Sejak kapan?”

        “Selalu.”

        “Kapan?”

        “Sejak semesta tak lagi mengatur pertemuan kita.”

        “Aku tidak ingin mengingatnya.”

        Perempuan itu telah menyesap setengah dari secangkir penuh kopinya selagi hangat, ia mulai menikmati kafein yang menjalar pada tubuhnya, hangat. Ia mulai mengingatnya.

        Lelaki itu beranjak dari kursinya. “ikut aku.”

        “Tidak, selagi kopiku belum habis.”

        “Aku akan mengajakmu kembali kemari, janji.”

        “Kau pernah mengatakannya, dulu.”

        “Lalu?”

        “Kau ingkar. Kau pergi, dan yang mengajakku kembali kemari adalah intuisiku; yang sepertinya telah menyatu dengan intuisimu, hingga akhirnya semesta mengatur pertemuan kita kembali.”

        “Kau telah mengingatnya.”

        “Aku?”

        “Kita. Intuisimu, dan intuisiku. Bersama semesta.”

        “Aku memang sering membuang waktuku di tempat ini, tapi kali ini aku sedang tidak bermaksud untuk melakukannya. Perjelaslah.”

        Lelaki itu mengambil cangkir kopinya yang masih penuh, dengan kepulan asap yang belum berpendar sama sekali. Kemudian, ditumpahkannya. Pandangan perempuan itu bergeser, mengikuti alur tumpahnya kopi ke lantai kayu yang mulai berayap. Pemilik kedai hendak beranjak dari tempatnya untuk membereskan –bukan, bukan cairan kopi itu, namun kedua pemesan yang berulah menjengkelkan. Layaknya dahulu. Pemilik kedai itu pun mengingatnya.

        Suara berat lelaki itu memecah keheningan suasana dalam kedai dengan rinai hujan di luar sana, yang menyisakan gemericik, menyentuh atap kayu kedai tua itu.

        Katanya, “aku bermaksud untuk melarangmu. Melarang ke kosongan yang kau ciptakan dari sorot matamu. Melarangmu mendinginkan kopi yang kau pesan oleh dingin hujan dengan angin yang menusuk. Melarangmu berbuat bodoh sendirian, karena itu cara untuk mencegahku berbuat bodoh –sendirian juga. Karena sejak kau berbuat bodoh di dalam sini, aku melakukannya di luar sana. Menyaksikanmu. Sendirian. Memastikanmu, kau dalam keadaan baik. Tapi tidak, karena kopi itu tidak lagi menghangatkanmu. Kopi itu hanya membuatmu merasa lemah, dan rapuh. Tanpaku.”

        “Aku mengingatnya.”

        “Kita, selalu mengingatnya.”

        “Aku akan menyingkirkan benda ini dari hadapanku, dan akan kulakukan itu di hadapanmu.” Perempuan itu memecah paksa secangkir kopi yang tinggal hampas. Pemilik kedai kembali menghela nafas, kerjaan lagi.

        Lelaki itu tersenyum samar, ia selalu melakukan hal itu. “Bagaimana dengan cerita baru?”

        “Cerita baru?”

        “Kau dan aku.”

        “Bagaimana dengan semesta?”

        “Kita atur skenarionya, biar semesta yang menentukan kemana arahnya bermuara.”


        Perempuan itu tersenyum. Kilat di matanya saling menyambar dengan kilat di atap kedai tua, sepertinya hujan akan turun kembali.





"atur saja."




1 comments:

odinaoakley said...

Blackjack and roulette tables in a casino - Kid
Blackjack and roulette tables in a casino. This page shows 피망포커머니상 the 더킹 바카라 different table types available, as 오피주소 well as casino variations to 바카라 총판 모집 bet on. 토큰 룰렛 Blackjack

Post a Comment

Thanks for read! ©Ghina's Blog