Welcome to my blog, dearest visitors! ©Ghina's Blog

Cerpen: Debu Potongan Cokelat (fiktif)

Berparas cantik, dengan tinggi semampai, dan rambut tergerai halus, juga bergelimangan harta, namun gadis yang memiliki segudang prestasi dan bakat yang menonjol dibidang tari, khususnya tari pendet ini, tak pernah lupa bersyukur, dan mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Kini, dia berada dikelas 8 Sekolah Menengah Pertama Bertaraf Internasional. Di malam yang senyap, hanya dentingan jarum jam yang temani sepinya. Ditatapinya jam dinding, orang sekitarnya menganggap dia sudah sempurna, namun seperti terbersit keganjilan dalam suatu perjalanan hidupnya, yang sangat dia dambakan.

Tapi bagi Arisa, dia bagaikan debu yang disia-siakan oleh keluarganya, ayahnya pergi entah kemana, ibunya selalu pulang malam, kakaknya direhabilitasi, Arisa seperti hancur tak bersisa, hatinya rapuh berkeping-keping dimalam ini, tak ada kasih sayang yang ia dapatkan, semua sibuk dengan urusannya. Hanya Arisa dan cupid, kucing persianya, di rumah yang besarnya hampir separuh lapangan hijau, namun sepi tanpa bahagia. Arisa menyeka air matanya, walau kesedihannya takkan terhapus. Hanya ‘Cupid’ kucing Persia miliknya, yang selalu hadirkan senyum di luka Arisa. “sudah malam, cupid ayo tidur.” Arisa mencoba melupakan semuanya, berharap ia hidup di mimpinya, yang indah dan damai.

Pagi itu terasa biasa, Arisa sarapan dengan roti dan susu, cupid setia mendampingi disampingnya. Ibunya juga belum pulang dari kemarin, apalagi ayahnya, sudah satu pekan tanpa kabar. Arisa menengok ke belakang, melihat foto keluarganya setahun kemarin, keadaan jauh luar biasa, sejak nenek dari ayahnya tiada, ayah Arisa jarang pulang kerumah, karena itu ibu dan kakaknya jadi tidak beraturan, ibunya stress hingga selalu pulang malam, kakaknya terjebak pergaulan bebas yang mengharuskannya di rehabilitasi. Arisa jadi sering sendiri dirumah, namun dia tetap tabah, shalat tahajud tak terlewatkan setiap malam. Beribu-ribu kali Arisa berharap keajaiban datang di setiap do’anya, yaitu; kebahagiaan. Sungguh langka untuk dapatkan kebahagiaan itu untuknya. Selesai makan, dicucinya piring dan gelas itu sendiri, Arisa memang sudah terbiasa hidup mandiri, walau dia berada dilingkungan orang terpandang sekalipun, namun hatinya tak luput merasakan kelam ini.

“cupid, kaulah ibuku, ayahku, kakakku, nenekku, sahabatku, kebahagianku, hanya kau yang temaniku.” Arisa menatap sedih kucingnya, cupid adalah yang paling ia sayangi di dunia ini. Arisa tak tahan lagi, dikemasnya semua perlengkapan, baju, buku, novel-novelnya, keperluan sekolah, dan pribadinya, tak luput disertakan kedalam tas koper besarnya, makanan cupid juga turut dibawanya. Sejumlah uang, dan bingkai foto keluarga disertakan. “cupid, kita pergi dari sini, neraka dunia ini sudah terasa cukup bagiku.” Arisa dan cupid pergi meninggalkan rumah, bersama koper besarnya, dikuncinya rumah megah tersebut, dia taruh kunci rumah di kotak rahasia, yang tidak seorang pun mengetahuinya. Arisa sudah tak pikirkan lagi, jika ibunya atau ayah, dan kakakknya mencarinya, bahkan mungkin sudah tidak ada Arisa Rushelinne Radinata dipikiran mereka. Arisa menengok kerumahnya. “aku takkan menyesal meninggalkan sejuta kesedihan ini.” Lalu ditutupnya pintu gerbang yang megah itu.

Malam ini, tak ada lagi kasur empuk, ruangan ber-AC yang dingin, peralatan yang lengkap dan super canggih, bahkan Arisa meninggalkan semua gadget yang diberikan orang tuanya. Hanya beralaskan koran yang diberikan pemilik emperan toko sebelum meninggalkan Arisa dan menutup tokonya. Bantal kecil dan selimut menjadi pelengkap malam Arisa, cupid tidur dikandangnya, disamping Arisa, ditutupi kain agar tak terlihat oleh orang lain, koper dan lainnya ditaruh berada dekat Arisa.
Tidur Arisa nyenyak namun Arisa khawatir akan ibunya yang akan semakin menjadi jika tidak diingatkan olehnya, sehingga dimalam yang dingin, Arisa terbangun, membereskan peralatannya, kemudian pergi bersama cupid meninggalkan tempat itu. Arisa tak ingin kembali ke rumah, dia dan cupid pergi menyusuri jalan ibu kota yang ramai, cupid setia mengikutinya dari belakang, kini bulu cupid yang putih dan halus, karena selalu dirawat, menjadi kusam. Arisa masih dengan pakaian lamanya, terlihat kumal. Bahkan ketika arisa sedang beristirahat, dianggap pengemis oleh orang yang berlalu lalang, diberinya uang logam 500 rupiah, tapi cepat-cepat Arisa serahkan kembali uang itu, dan segera berjalan.

Hingga akhirnya langkah Arisa terhenti didepan Masjid yang megah, Arisa mengambil air wudhu dan shalat malam, ia juga tak lupa membersihkan diri, “ya Allah, benahkanlah ibuku, agar beliau kembali kejalan-Mu, begitupun ayahku, dan sembuhkanlah kakakku, jadikanlah mereka hamba-Mu yang senantiasa Engkau jaga, ya Allah semoga jalan yang kuambil ini yang terbaik, dan kembalikanlah keutuhan keluargaku seperti semula. Amiin…” Arisa mengakhiri shalatnya dengan air mata yang membuat jalurnya sendiri dipipi merahnya karena sedih yang dia rasakan. Dilipatnya mukena yang ia bawa dari rumah, di teras masjid, cupid masih setia menunggui barang-barang bawaan Arisa, cupid memang sudah seperti sahabat, dan bukan lagi seperti peliharaan, karena cupid-lah yang menemani suka-duka Arisa selama ini.
“dik, sudah malam, gak baik anak perempuan keluar malam-malam begini, lebih baik malam ini, adik dengan kucingnya menginap disini bersama istri bapak dikamar, kebetulan bapak kebagian ronda hari ini.” Ucap seseorang panjang lebar ketika Arisa menengok ke belakang.

Arisa masih ternganga, ia tak langsung percaya, dengan bapak-bapak yang tampaknya marbot masjid tersebut. “saya marbot masjid ini.” Bapak itu memperkenalkan diri, berusaha meyakinkan. Arisa masih terbingung, karena jiwanya sedang terluka.
Tanpa sadar, Arisa mengikuti langkah lelaki itu yang menunjukkan kamarnya, didalamnya, seorang wanita, yang tampak seperti istri pak marbot itu sedang melipat pakaian, seperti sendiri saja? Dimana anaknya? Arisa bertanya gusar dalam hati. “bu, anak ini sendiri saja, menginap hari ini tidak apa kan bu?” pria itu meminta izin kepada istrinya. Istrinyapun mengijinkan, bahkan tidak keberatan sama sekali, karena ia cukup kesepian sampai saat ini, belum dikaruniai anak. Namanya bu Mirah, ohh… Arisa mengangguk paham. Arisa balas memperkenalkan diri, dan menjelaskan sampai ia akhirnya bertemu bu Mirah di masjid ini.
Malamnya Arisa rasakan dengan indah, sungguh bahagia perasaannya saat ini, ia tidur bersama wanita yang sabar, pengertian, sudah dianggapnya seperti ibu sendiri. Bu Mirah pun memakluminya, beliau sungguh bahagia akan kedatangan Arisa, sikap pak Gusto, suami bu Mirah, pak marbot tadi, juga sangat menerima Arisa, bahkan mereka menganggap Arisa seperti anaknya.

3 hari sudah Arisa menumpang di masjid tersebut, membantu-bantu bu Mirah, membersihkan masjid, dan pak Gusto merapikan rumput di taman masjid. Cupid bebas tidur dan bersantai-santai di kebun, Arisa terkikih memperhatikannya. Dia tersandar di pohon mangga, di taman masjid, teringat keadaan rumahnya, akankah ada yang mencarinya? Terbesit ide di benak Arisa, ia memutuskan untuk menengok sebentar keadaan rumahnya, bersama Cupid, Arisa berpamitan sebentar kepada orang yang sudah ia anggap seperti keluarga, dan sebaliknya. Bu Mirah tercengang mendengar permohonan Arisa untuk pergi sebentar ke rumahnya, padahal bu Mirah serasa tak ingin berpisah dengan Arisa. Setelah dijelaskan bahwa Arisa hanya main saja, dan tidak berniat untuk pulang, izin yang ditunggunya didapat. Sebagai bukti bahwa Arisa tidak akan pulang, dan tetap tinggal bersama keluarga pak Gusto, ditinggalkannya barang-barang bawaan serta semua perlengkapan, yang dijaga oleh bu Mirah di kamar yang terletak di belakang masjid megah tersebut.

Setengah perjalanan ditempuhnya, Arisa dan Cupid terasa lelah, terduduk di pinggir jalan kota yang sarat akan asap dan debu yang tebal tersebut untuk melepaskan lelahnya, lalu Arisa meneguk air mineral yang dibelinya tadi di warung kolong jembatan, yang belum tentu terjaga kebersihannya, mengingat Arisa selalu terjaga dalam hal kebersihan dan sebagainya aturan ala orang terpandang. Kemudian mereka kembali berjalan, hingga akhirnya terpaku didepan pintu gerbang nan megah setinggi 2 meter itu. Tatapan Arisa lurus-lurus menusuk melalui celah-celah yang tersisa di pintu gerbang. Terlihat rumahnya yang penuh debu, seperti tak berpenghuni. Apakah selama aku pergi dari rumah, ibu atau ayah, sama sekali tidak pulang kerumah? Lalu, apakah mereka tidak mencariku? Mencoba menemuiku? Berharap aku mengabari mereka? Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi memadat terasa sesak di lubuk hatinya.
Arisa membuka pintu pagar tersebut, halaman bunga bak seluas labirin di pesta dansa dalam cerita Cinderella lesu tak terawat, lampu-lampu di taman pecah, seperti terasuki gigitan binatang atau… apalah. Pemandangan yang asing bagi Arisa, jauh berbeda dibandingkan 3 hari yang lalu, rumah megah tersebut layaknya rumah hantu yang tak berpenghuni, pengang yang Arisa rasakan, sangat mencuri rasa bersalah, Arisa jadi menyesal meninggalkan rumah itu, namun hatinya kembali berbalik, ia tetap teguh pada pendiriannya kini.

Arisa mengambil kunci rumah dikotak rahasia, ngiik… pintu rumah Arisa berdecit ketika dibuka, Arisa melongok kedalam, mencari sinyal kehidupan, namun tak didengarnya suara apapun, hanya tikus yang melewati tempat Arisa berdiri. Argghhh… arisa tersentak, lau berteriak hingga terdengar seseorang memanggilnya, “siapaa…? Jangan ribuuutt…!” suara itu terdengar dari dalam rumahnya. Arisa bergeming dan tak menghiraukan, kemudian Arisa menelusuri rumahnya, berbeda sekali keadaan di luar dan didalam rumah, di luar sangat kotor dan tak terawat, namun didalam bersih mengilat.
Langkah Arisa sampai ke lantai atas, lalu membuka pintu kamarnya, semua rapih. Arisa terdiam sesaat. Ia jadi penasaran dengan suara tadi. “saya Arisa, siapa yang berbicara tadi?” Arisa menjawab dan berteriak sekeras-kerasnya. Terlihat bayangan yang bergerak cepat ke arahnya, kemudian seperti hendak membuka pintu kamar Arisa. Arisa bergidik. Ia gemetar. “…” tanpa suara! Bayangan itu perlahan membuka pintu kamar Arisa. Arisa yang menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal jadi tak ingin melihat. Bayangan itu menghampiri Arisa! Mendekat! Semakin dekat! Argghhh… siapaa kamuuu…!! Arisa memekik.

“Arisa, ini Mam.” Ternyata penyebab Arisa takut, adalah bayangan ibunya. Arisa memanggilnya dengan sebutan ‘MAM’. Arisa keluar dari dalam selimutnya, mengintip keluar dan menemukan ibunya sedang duduk disamping ranjangnya. arisa tidak menghampiri namun ia memojok seraya menyeret selimutnya agar terus menghangatkan batinnya. Ia masih tak percaya, wanita yang dilihatnya sekarang telah berbeda. Mengenakan jilbab, berpakaian muslimah, dengan senyum manis terpampang di wajahnya menyediakan tempat yang hangat disisi Arisa. “ini mam? Sungguh-sungguh mam yang Arisa kenal? Mam, ibu Arisa?” deretan pertanyaan diluncurkan, oleh rasa penasaran dan ketakjubkan Arisa melihat ibunya sekarang. Ia tak lagi mengurung dirinya dengan selimut tebal, dan mulai memperlihatkan wajahnya, masih dengan raut tercengang! Ibu Arisa menghampiri putri kesayangannya, memeluknya… memberikan sepenuh kasih sayang yang selama ini dirindukan Arisa.

Ibu Arisa menceritakan semuanya, semua yang telah terjadi selama kepergian Arisa dari rumah, ibunya sadar, dan kini beliau bertaubat ke jalan Allah, Ayahnya sedang dalam perjalanan pulang kerumah, ternyata selama ini Ayah Arisa pergi kedesa, dan dengan suatu alasan yang menyebabkan Ayah Arisa tidak mengabari keluarganya. Lalu Kakaknya, yang sedang dalam masa rehab, akan segera dipulangkan karena dianggap sudah sembuh. Dan Ibunya, beliau sudah hadir disisi Arisa, mengganti semua kesalahan yang selama ini menghilang dari hadapan Arisa. Sungguh bahagia hati Arisa, terasa pulih dari keterpurukan selama ini. Arisa bersyukur kepada Allah SWT, yang telah mengabulkan do’anya selama ini, semua yang diinginkan Arisa terwujud, K.E.B.A.H.A.G.I.A.A.N! Alhamdulillah… sujud syukur Arisa panjatkan kepada Allah SWT dalam shalat maghrib berjamaah dengan keluarga yang kini utuh kembali, keluarga yang sangat didamba-dambakan Arisa selama ini.

Hari ini adalah hari yang berharga untuk Arisa, karena pada pagi ini, keluarga Arisa dapat sarapan bersama, seperti 1 tahun yang lalu, senyum lebar dibibir Arisa tak berhenti mengembang, begitupun keluarganya. Sesuatu yang lain dihari ini karena umur Arisa tepat 14 tahun, dan hari ini tanggal 14 February, hari valentine. Walau keluarga Arisa tidak merayakannya, namun Arisa lahir ditanggal yang bertepatan dengan Valentine’s Day. Kado Ulang Tahun yang paling berharga, yang takkan terganti, yang terindah selama hidupnya, didapatnya di tahun 14 tanggal 14.
Bahagia terindah dihidup Arisa, juga sejuta pengalaman berharga yang takkan pernah dilupakkannya, yang juga membuat Arisa semakin bersyukur dengan keadaanya sekarang. Dahulu Arisa bagai debu, Sekarang, dia dapatkan manisnya hidup, bagai menemukan sepotong cokelat yang terpendam selama ini.

Arisa teringat dengan keluarga sementaranya di Masjid disana. “Mam, Pap, Kak, Arisa masih punya satu permintaan di hari ulang tahun Arisa ini.” Ibu Arisa menanggapi, “Apa Nak? Apapun yang Arisa minta, selama masih bisa kami sanggupi, akan diberikan.” Jawab Ibu Arisa dengan senyum tipis disudut bibirnya. Sementara Ayah Arisa sangat berusaha memotong daging dipiringnya. “Mam, Pap, kalau boleh Arisa minta diantarkan kesuatu tempat?”
Arisa memperjelas semuannya. Dia ingin mengunjungi tempat Pak Gusto. Semua menuruti keinginan Arisa, walau belum paham maksud tujuannya. Sesampainya Arisa dan Keluarganya di muka Masjid Al-Jannah, masjid yang selama 3 hari Arisa tinggali, Arisa langsung menemui Pak Gusto yang sedang memotong rumput. “Arisa… kamu kemana saja? Katanya hanya menengok rumah, tapi tidak pulang!” Arisa disambut dengan segerombol pertanyaan. Bu Mirah menyambut Arisa dengan suka cita, dirangkulnya Arisa penuh kasih sayang.

Lalu Keluarga Arisa dan Keluarga Pak Gusto berembuk, Ayah Arisa menceritakan maksud kedatangannya, rupanya Arisa menginginkan agar Pak Gusto dan Bu Mirah bekerja dirumahnya. Keduanya mengangguk setuju, dan mereka sangat berterimakasih kepada Arisa karena telah membantu perekonomiannya. Arisa membawa barang-barang yang tertinggal di masjid, lalu bersama keluarga Pak Gusto, menuju ke rumah Arisa yang megah, sebelumnya Arisa telah meminta izin kepada Rukun Tetangga setempat, untuk membawa Keluarga Pak Gusto bekerja dirumahnya.

Kini hari-hari Arisa berisi keceriaan, dengan Cupid yang menjadi saksi suka maupun duka Arisa selama terpecahnya keluarga Radinata. Lalu Pak Gusto dan Bu Mirah sangat bahagia, dan sudah dianggap keluarga oleh Keluarga Arisa. Malam ini, tidur Arisa nyenyak sekali, Ibunya dan Bu Mirah menemani disisinya, sungguh malam yang tak pernah Arisa bayangkan sebelumnya. Arisa tak lagi berharap tidur di mimpinya, dia sudah terbangun dari impiannya yang telah berubah menjadi kenyataan, Arisa mengigau disela-sela tidurnya, “telah kusibak debu yang menyesak ini, dan kutemukan manisnya cokelat tertanam didalamnya...”



Karya: Ghina Widad Lifyana

2 comments:

Post a Comment

Thanks for read! ©Ghina's Blog