Welcome to my blog, dearest visitors! ©Ghina's Blog

Secangkir Kopi

Secangkir Kopi

        Lelaki itu terjerembab di antara kabut gelap dan hujan angin yang menderu, namun yang ia lakukan hanya satu; menyorotkan matanya pada satu pandangan, menjurus tajam melewati kaca kedai tua yang mulai retak. Sorot mata yang bergaris keras. Hingga kepulan asap dari secangkir kopi yang di genggam seseorang di dalam sana, berdenyar karenanya.

        Kepulan asap itu perlahan berpendar, seseorang yang memesannya membiarkan benda itu dingin bahkan jika bisa ia biarkan beku itu menjadi. Sesekali yang dilakukannya hanya mengaduk perlahan dengan sejurus tatapan kosong ke depan, searah dengan meja pemilik kedai bertubuh gempal yang sedari tadi memerhatikan pemesannya dengan jengkel, maksud hati ingin menyuruh saja biarkan ia beranjak pergi meninggalkan secangkir kopinya.

        “Kamu menungguku.”

        Pecah.

        Pemilik kedai dibuat uring-uringan oleh ulah pemesannya. Dalam intuisinya, ia merutuk kehadiran pemesan yang pasif lagi aneh ini. Bagaimana lah, hanya sebab telinganya menangkap dua kata, ia memecahkan cangkir dengan kopi yang hambar. Dingin. Cangkir ketujuhnya, untuk hari ini.

        “Lemah. Rapuh.”

        Kali ini, seseorang itu mendongak kearah suara berat yang terdengar bertekstur seperti beludru. Seseorang itu, perempuan yang kini dua benda dalam tubuhnya sedang tidak berfungsi secara singkron. Intuisinya ingin sekali memukul pergi lelaki itu, kala nalurinya membenarkan perkataan lelaki itu; dan ingin sekali perempuan ini berhambur memeluknya, agar bagian rapuh dalam dirinya tidak lagi berporos pada kehampaan, bahwa ia akan merasa lengkap kembali.

        Perempuan ini masih tidak bergeming, sampai mungkin akhirnya ia akan memesan cangkir ke delapan –dan mungkin ke Sembilan, agar lelaki yang berdiri dengan postur acuh di hadapannya dapat menemaninya, menunggu cangkir-cangkir itu dingin kembali.

        “Pesanlah, turuti intuisimu.”

        Dua. Jari tangan perempuan itu mengisyaratkan pesanan selanjutnya. Merasa kehadirannya telah diterima, lelaki itu duduk; tepat berhadapan dengan sorot mata perempuan itu yang lurus dan kosong.

        “Tatapanmu, belum berubah. Masih kosong.” Lelaki itu meletakkan punggung tangannya pada pipi perempuan di hadapannya. Tradisi mereka di masa lampau, mengatakan; aku merindukanmu.

        Pesanan dua cangkir kopi telah tiba, dan sepertinya perempuan ini tidak akan membiarkan mereka dingin untuk ke sekian kalinya. Pelupuk matanya mulai dipenuhi rasa hangat, hingga tetesan itu membuat jalur sendiri di wajahnya.

        Perempuan itu mengerjap, dan akhirnya buka suara. “Aku ingin bicara, tolong simak lisanku, catat dalam intuisimu.”

        “Sejak dulu, selalu, dan selamanya akan tetap begitu.” Sang lelaki tersenyum samar.

        “Aku selalu ke tempat ini, membuang waktu, tanpa pikiran apapun kecuali satu; memikirkan kabarmu. Kenapa datang? Aku telah terbiasa menyesap kopi yang dingin, tidak perlu suasana hangat atas keberadaanmu.”

        “Aku selalu melewati tempat ini, memerhatikan kekosongan dalam matamu, dan kepulan asap cangkir kopimu. Aku telah terbiasa melihat sorot kosong matamu, aku perlu untuk merasa tidak terbiasa. Agar aku dapat menyematkan semangat di matamu, dengan –mungkin, kehadiranku.”

        “Sejak kapan?”

        “Selalu.”

        “Kapan?”

        “Sejak semesta tak lagi mengatur pertemuan kita.”

        “Aku tidak ingin mengingatnya.”

        Perempuan itu telah menyesap setengah dari secangkir penuh kopinya selagi hangat, ia mulai menikmati kafein yang menjalar pada tubuhnya, hangat. Ia mulai mengingatnya.

        Lelaki itu beranjak dari kursinya. “ikut aku.”

        “Tidak, selagi kopiku belum habis.”

        “Aku akan mengajakmu kembali kemari, janji.”

        “Kau pernah mengatakannya, dulu.”

        “Lalu?”

        “Kau ingkar. Kau pergi, dan yang mengajakku kembali kemari adalah intuisiku; yang sepertinya telah menyatu dengan intuisimu, hingga akhirnya semesta mengatur pertemuan kita kembali.”

        “Kau telah mengingatnya.”

        “Aku?”

        “Kita. Intuisimu, dan intuisiku. Bersama semesta.”

        “Aku memang sering membuang waktuku di tempat ini, tapi kali ini aku sedang tidak bermaksud untuk melakukannya. Perjelaslah.”

        Lelaki itu mengambil cangkir kopinya yang masih penuh, dengan kepulan asap yang belum berpendar sama sekali. Kemudian, ditumpahkannya. Pandangan perempuan itu bergeser, mengikuti alur tumpahnya kopi ke lantai kayu yang mulai berayap. Pemilik kedai hendak beranjak dari tempatnya untuk membereskan –bukan, bukan cairan kopi itu, namun kedua pemesan yang berulah menjengkelkan. Layaknya dahulu. Pemilik kedai itu pun mengingatnya.

        Suara berat lelaki itu memecah keheningan suasana dalam kedai dengan rinai hujan di luar sana, yang menyisakan gemericik, menyentuh atap kayu kedai tua itu.

        Katanya, “aku bermaksud untuk melarangmu. Melarang ke kosongan yang kau ciptakan dari sorot matamu. Melarangmu mendinginkan kopi yang kau pesan oleh dingin hujan dengan angin yang menusuk. Melarangmu berbuat bodoh sendirian, karena itu cara untuk mencegahku berbuat bodoh –sendirian juga. Karena sejak kau berbuat bodoh di dalam sini, aku melakukannya di luar sana. Menyaksikanmu. Sendirian. Memastikanmu, kau dalam keadaan baik. Tapi tidak, karena kopi itu tidak lagi menghangatkanmu. Kopi itu hanya membuatmu merasa lemah, dan rapuh. Tanpaku.”

        “Aku mengingatnya.”

        “Kita, selalu mengingatnya.”

        “Aku akan menyingkirkan benda ini dari hadapanku, dan akan kulakukan itu di hadapanmu.” Perempuan itu memecah paksa secangkir kopi yang tinggal hampas. Pemilik kedai kembali menghela nafas, kerjaan lagi.

        Lelaki itu tersenyum samar, ia selalu melakukan hal itu. “Bagaimana dengan cerita baru?”

        “Cerita baru?”

        “Kau dan aku.”

        “Bagaimana dengan semesta?”

        “Kita atur skenarionya, biar semesta yang menentukan kemana arahnya bermuara.”


        Perempuan itu tersenyum. Kilat di matanya saling menyambar dengan kilat di atap kedai tua, sepertinya hujan akan turun kembali.





"atur saja."




Reflection on Our Eyes

Reflection on Our Eyes

Prolog  : she was so happy with the new situation, although actually it could be a nightmare for her.



            

            According to Gathan Agasstya, rain was about all he could take those real pictures with his camera clearly. When all of above seems frankly. He did not like those things called lies.

**
            According to Iridesca Maya, rain was about she could feel all her sensory tools functioned well. When she could know at the outside were all wet without had to force the fact, which she could not see them.
**
            Gathan Agasstya lived with her one and only older sister, because he had his scholarship to be done at this town when his sister lived here to do her work. Their mom lived at the other town while their dad was on his work at Singapore.
“The place you were recommending to fix my camera was really jaded. It has been a week and I still could not take a picture of anything. Whereas in this week I just found so many interesting things on the road, at the campus, and at…” Gathan stopped his sentence and tried to remember something.
“At…?” Hanna, his sister rolled her eyes.
“At the space under the bridge!”
“What?!” Hanna almost could not reach her voice, “did you mean all about those shabby beggars? Not interested at all.” 
            “Obviously no! I will tell you about that someday.”
            “Is it about a girl?” Hanna winked at her little brother.
            Gathan turned his eyes to Hanna and rise his shoulders and smiled secretly.
            He mumbled slowly, “I have to see her again tomorrow!”

**
“Iridesca.” Her mom called Iridesca while she stood at the door, “take care.”
Iridesca turned around and smiled to her mom, then waved her hand to her. She knew that her mom waved her back. At least, she was grateful to know that she had the inner contact with her mom.
Most of Iridesca’s high school friends were continuing their study to college, except Iridesca. Actually she really wanted to reach her dream became a teacher, her parents’ financial could supported her to reached her dream. But, Iridesca chose to not continue her study to college because her eyes only could see the darkness. But still, her dream was manifested, at least based on her opinion. She was a teacher for those bagger childrens at the space under the bridge.
She left her home to that place which she called it with “school” for her students around elementary until secondary school ages. Started in the morning, and broke in the afternoon because they needed to work around that place then in the evening, the class started again.
Iridesca clearly remembered about yesterday’s moment. A boy in her ages seems like stared at Iridesca from the distance. Iridesca did not see it, she felt it. Her feeling was so sensitive.
“Are you teaching at here?” that boy asked Iridesca when she could feel him stood beside her. While her students started to leave that place.
“Why? Got a problem?” said Iridesca quickly, she did not want to talk with stranger.
            “Nice, your silhouette is nice.” He mumbled slowly, “no problem, I just asked.” He corrected his sentence. Immeditialy he cursed his broken camera.
            That boy tilted his head then waved his hands in front of Iridesca’s face. He wondered about what was going on with Iridesca’s eyes.
            Iridesca packed her bags and prepared to went home. “Sorry, but what is your purpose? Your voice sounds like your ages are similar to me. I do not teach for your ages.”
That boy held Iridesca’s hand, “A teacher obviously good at explaining. Can you explain about my heart which beat so fast like this?” he put Iridesca’s hand on his chest.
Iridesca released her hands from his, even she could feel that boy’s heart beat faster.
“I am really sorry about that, I am leaving you really now.” Suddenly he left Iridesca awkwardly.
Remembered about that moment turned Iridesca’s mood into bad. But not about her spirit, heard her students’ voice could heal tired and brought a spirit on her.

**
On the other side in this morning, Gathan prepared himself to went to college quickly when actually he really wanted to visit the place he just met with a girl yesterday.
When Gathan finally arrived to that place, he found out that the class that girl had just ended a moment ago, then he tried to be brave to talk to that girl after yesterday’s “accident”.
“Who is this?” said that girl. Gathan stepped back. How could she knew about his existence? Whereas that girl’s eyes…
“I remember, we did not know each other before. Therefore I am here right now.” Said Gathan.
That girl sighed heavily. “Oh, that’s you.” She picked her bag, indirectly said that she did not want to talk anymore with Gathan.
But Gathan would not give up easily, with his way, he could know that girl’s name; Iridesca Maya.
            After that, they went to a café which located at the opposite of the bridge. Gathan had so many ways to made Iridesca wanted to hung out with him. They had a lot of quality time, then Iridesca realized that Gathan was not that brash. Actually, he was a funny boy with good attitude.
            Because Iridesca’s first impression on Gathan was wrong, she tried to apologize with asking him to accompany her to bought classes property this evening. Gathan accepted it gladly. So, they went to bought them until the sun went down and the rain fell to the ground.
            When Gathan arrived at his house, Hanna stood at the door while her hands were on her waist and gave Gathan the how-dare-are-you look. She worried about Gathan’s condition because he had something unexplainable according to the doctor. But, once again, Gathan had so many ways to conveyed the reasons which made Hanna did not mad at him anymore. She also told her brother about their parents’ upcoming arrival. Gathan really excited to hear that because no words could explain how much he missed his mom and dad.
            On the other side, when Iridesca arrived at her house, her parents were not like usual. Suddenly, when the clock showed 00:00 a.m. they came out with happy faces to gave a surprise to Iridesca because that day was her birthday!
            “Oh my Lord! This is… ah, I really appreciate it. I could not tell how much I love you mom, dad!” She hugged her parents and it meant that she turned 18 officially!

**
            Gathan was being informed about the letter from doctor as the result of his last checked up activity, it told him about his condition right now, it said that he did not let his condition dropped. But today, he would like to see Iridesca at that place because he felt something different when he looked at her eyes. He could see the reflection of his eyes too, felt like they mixed as well. So, Gathan finally met Iridesca at the same place as yesterday. Iridesca accidently told Gathan about her birthday.
            “Oh my God, how could I forget about your birthday?” Gathan was joking about that because actually he did not know about Iridesca’s birth date. Iridesca just laughed and this made her confused like how could Gathan always made Iridesca laughed easily and suddenly forget about her problems?
            At that time, Gathan promised something to Iridesca for her birthday’s gift.
            Time flew and it came to the day Gathan was promised something to do with Iridesca as her birthday’s gift. Gathan had a schedule with her to met up at 03:00 p.m. at the café they usually met. But, it has been an hour Iridesca waited for Gathan’s arrival. She almost got mad until 5 minutes later Gathan came with heavy breath. He told Iridesca that he was from the hospital to get the review check up then picked up his camera from the service center. When Iridesca asked him about what serious problem he got with his healthiness, he did not want to answer it and Iridesca tried to realize that she was not anything in Gathan’s life so she did not have to know what was going on with Gathan.
            Gathan drove Iridesca by his motorcycle to a place which had no pollutions when they can felt the sensation of the beautiful nature.
            “Can you guess which place we just arrived at?” Gathan asked Iridesca nicely.
            Iridesca drew the hands horizontally to felt the fresh air around this place. “Uhm, I can feel the fresh air, waters, and…” she started to walk around. “sand! I know, we are definitely at the beach!”
Gathan appreciate the sensitive sense she had and he let Iridesca to walk around the beach. They shared their minds about the reason why they both loved beach. Iridesca’s view told that she loved beach because she could feel the comfort and suddenly forget about her problems. Gathan’s view told that he loved beach because he usually come to here to relax when he had so much problems. It can be concluded that they loved beach, the sea, and waters, related to rain. They loved rain as well.
            “Do you have something to be told? I can get the line on your sentence that you have a serious problem right now. You know, I am a good listener.” Said Iridesca.
            “Oh, nothing. Calm down, take your time because this is the special day for us. I mean, for you. For your birthday’s gift from me.” Said Gathan nervously.
            Iridesca thanked Gathan, and he said that Iridesca was the only girl who closed with him besides his sister, Hanna. Iridesca felt honored to hear that. Iridesca said that actually she could see him without her eyes functioned normally but with her heart.
            “Iridesca, you need to know. I love you, as my best friend.” Gathan shutted her mouth for a while then continued his sentences. “why did I just called you as my best friend? Because best friend could be completing and understanding each other, always by their sides. Because a friendship meant so much more than a relationship as a couple.”
            “Only as a best friend?”
            “Actually my feelings on you were more than that, but I am afraid…”
            “Tell me.”
            “I  am afraid that in the end, it will not be as beautiful as you have been imagined.” Gathan walked away slowly, it was the hardest words to be said. He let Iridesca with his hands and started to sing her a song titled Home Is In Your Eyes.
            I want to be holding your hand in the sand by the tire swing, where we used to be, baby you and me. I travel a thousand miles, just so I can see you smile. Feel so far away when you cry, ‘cause home is in your eyes.
            Iridesca could not hold her feelings, she started to cry. How can it could be complicated? She did not know what was going on, but if she could ask, she would like to be like this with Gathan for the rest of their life. Gathan wiped her tears and he felt guilty to her so he decided to bring Iridesca went home.
            After that moment, Gathan never contact Iridesca, they did not meet up anymore when actually both of them felt lost in the bottom of their hearts. Iridesca tried to stand above her complicated things with Gathan, she lived her life normally although on the other side, she could not lie to herself that she missed Gathan Agasstya.
            A week ago, Gathan’s parents came to his sister’s house. They had a serious topic about Gathan’s condition based on the letter from doctor he just received not a long ago. They started to make a decision which could determined Gathan’s life in the future. So, in the time they have been planned before, Gathan would be on operation to fix his condition. That was the reason why did Gathan decided to lost contact with Iridesca although he knew that it would not be better but at least he could not make the situation became worst if Iridesca knew about his condition.

**
            When the time came, Gathan was ready to be operated in the operating room. His family were complete to gave him support, to showed how care they are to him, meant that they loved him honestly.
            “Hanna.” A moment before the operation will be started, Gathan called his sister.
            “I am always here, by your side.” She came to her beloved brother.
            “Do you still remember about a girl that I have been told you about?”
            “Iridesca Maya, exactly. How can I forget her when you keep talking about her during your days like every day?” she giggled.
            “I am more than serious right now. We can not expect for the best when there will always be the worst situation haunted us, right?” said Gathan. “listen, I love Iridesca Maya when I was around her even she was not around me, but she always there in my heart, it would never change although we had no talking for a month.”
            Hanna listen carefully to her brother, she could see that Gathan’s eyes started wet like she never seen it before. She could tell that Gathan Agasstya was really wanted Hanna to granted his wishes.
            “When the worst situation came to me, when I could not reach my breath anymore, please do it for me; give my eyes to her, Iridesca Maya. Because she needs them more than I should. I love you to granted my wish, I love Iridesca Maya for the rest of my life.” Said Gathan. Hanna could not hold her tears while Gathan gave her an envelope filled with photos he took secretly and the object was all about Iridesca Maya.
            “I would do what you asked me to. I love you, Gathan Agasstya, my beloved brother.” Hanna smiled behind her tears. Immediately, the doctor and nurses started to bring Gathan to do the operation. Hanna, her mom and dad just praying from the outside, hoped that all went well.

**
            “Iridesca Maya?”
            “That is me. Who is this I am talking with?” Iridesca asked in the telephone.
            “I am Hanna, Gathan’s sister. We need to talk, let’s meet up at the space under the bridge.” Hanna ended up the call. Iridesca could not do anything besides grant Hanna’s wish.
            When they both were at the place they have been planned before, Hanna explained all of these complicated things. She really hoped that Iridesca Maya could do the wishes from Gathan Agasstya. Iridesca did not have another choice, she really loved Gathan and this was the only way to showed it hopefully Gathan would see it from another world.

**
            Iridesca Maya, a teacher for beggars at the space under the bridge started her new life with her new views. She worked so hard for her family, to make her parents proud of her. It has been 2 years since Gathan Agasstya passed away. Since his eyes were on Iridesca’s eyes. Now, she worked at the place where Hanna did her task. About her “school”, she rent so many teachers to help her handed the students until the government gave her an achievement because of her responsibility. She had a new hobby as a photographer in her spare time. She lived her life as Gathan wished.
            Today was the day Gathan Agasstya really leave his beloved people forever. Iridesca went to Gathan’s grave because that was the only one to heal the missing piece in her heart.
            “Gathan Agasstya,” Iridesca called him although there would be no answer.
“Everyone changed. The situation changed. But, these photos you gave to me framed the changes. And this heart, keep the most difficult change to be faced. Losing you, Gathan. And this heart, see you, feel you, although you are still by my side, on another world. I can see you, with your eyes. But, these photos help me to see you with my unconsciousness. Which actually, I could feel you, in my heart, even with my unconsciousness, but with your eyes which has been mine. This is our eyes. I love you for the rest of my life, Gathan Agasstya.”





Epilog : there was no one who wiped Iridesca’s tears, she still tried to face the truth that there would not be another Gathan Agasstya. But, the moments he had captured secretly for Iridesca Maya showed the reflection on their eyes of their love.

Beludru Kelabu



Sepucuk perasaan tertinggal disudut
Hanya tersisa sejumput menunggu untuk dijemput
Kala kau memudar dari rengkuhanku
Ada yang tertahan terbilang terpaut jarak dan waktu
Rindu.
Sesuatu itu,
Menjadikanku bodoh untuk memastikanmu
Memastikan, kau baik-baik saja
Bahkan dikala kesenyapan ini,
Menyesap memenuhi rongga rusukku
Namun masihlah,
Sesudut ruang untukmu,
Boleh terisi hanya olehmu
Semesta,
Yakinkanlah aku untuk terbiasa
Terbiasa bergerak
Kala semula,
Raga ini terpatri saat perasaan itu berdesak-desakan
Kala kau melintas melewatiku
Yang terpaku karenamu
Semesta,
Tolonglah aku untuk berdiri
Berdiri dari jatuh sepihakku ini
Kala semula,
Jatuhku terobati oleh keberadaan bayanganmu
Bayangan yang segelap malam
Segelap malam bersinar bulan
Sebentuk sabit yang melengkungkan senyummu
Bisuku tetap terdiam
Hingga semesta menggariskan sketsamu dalam bentuk lain
Berupa bayangan yang selalu terkenang
Sebab itu caraku untuk pulih
Kala waktuku tiba untuk berdiri
Melangkah menjauh dari gelap tanpa sabit senyummu
Menyisakan tapak hingga pudar membentuk fatamorgana
Saat semesta tak lagi mengatur pertemuan kita
Kala semula,
Tatapan sederhana yang sesering itu
Sesederhana kilat bayangmu yang terdeteksi oleh radarku
Walau mataku ditutup
Andai telingaku disumbat
Tetap bisa kuketahui perihal keberadaanmu;
Tekstur suaramu yang serupa beludru
Pendengaranku yang berfungsi sempurna saat lisanmu merapal namaku,
Sebab udara di sekitar bergetar dan berdenyar saat kau ada
Hingga terselip rindu menyesap di antaranya
Di antara jarak yang menghitung beda detikmu dan detikku
Lalu hilang
Lalu senyap
Berpendar memudar dari sorot lensaku
Tertutup kabut tak tersingkap dari rindu yang menggebu





Terima kasih, telah menyematkan semangat di hari Jumat.

Puisi: Wanita Emansipasi

Tak selamanya wanita Indonesia menunduk
Tak selamanya wanita Indonesia terpuruk
Kini kami dapat menatap masa depan
Kini kami dapat terlepas dari belenggu keterikatan

Perjuanganmu sangat berarti bagi wanita
Upayamu membuat kami berderajat
Pendekar yang lembut, sosok Ibunda Indonesia
Engkaulah yang selalu meneriakkan semangat emansipasi

Kartini.....
Ibu seluruh Indonesia
Sabang merindukanmu
Merauke menantimu
Niangas mengharapkanmu
Rote ingin engkau kembali

Kartini.....
Ibunda bangsa
Kartini Ibu kita
Kartini untuk Indonesia

Terimakasih atas jasamu
Membela wanita Indonesia
Untuk lebih mandiri dan dihargai


Karya: Ghina Widad Lifyana

Cerpen: Debu Potongan Cokelat (fiktif)

Berparas cantik, dengan tinggi semampai, dan rambut tergerai halus, juga bergelimangan harta, namun gadis yang memiliki segudang prestasi dan bakat yang menonjol dibidang tari, khususnya tari pendet ini, tak pernah lupa bersyukur, dan mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Kini, dia berada dikelas 8 Sekolah Menengah Pertama Bertaraf Internasional. Di malam yang senyap, hanya dentingan jarum jam yang temani sepinya. Ditatapinya jam dinding, orang sekitarnya menganggap dia sudah sempurna, namun seperti terbersit keganjilan dalam suatu perjalanan hidupnya, yang sangat dia dambakan.

Tapi bagi Arisa, dia bagaikan debu yang disia-siakan oleh keluarganya, ayahnya pergi entah kemana, ibunya selalu pulang malam, kakaknya direhabilitasi, Arisa seperti hancur tak bersisa, hatinya rapuh berkeping-keping dimalam ini, tak ada kasih sayang yang ia dapatkan, semua sibuk dengan urusannya. Hanya Arisa dan cupid, kucing persianya, di rumah yang besarnya hampir separuh lapangan hijau, namun sepi tanpa bahagia. Arisa menyeka air matanya, walau kesedihannya takkan terhapus. Hanya ‘Cupid’ kucing Persia miliknya, yang selalu hadirkan senyum di luka Arisa. “sudah malam, cupid ayo tidur.” Arisa mencoba melupakan semuanya, berharap ia hidup di mimpinya, yang indah dan damai.

Pagi itu terasa biasa, Arisa sarapan dengan roti dan susu, cupid setia mendampingi disampingnya. Ibunya juga belum pulang dari kemarin, apalagi ayahnya, sudah satu pekan tanpa kabar. Arisa menengok ke belakang, melihat foto keluarganya setahun kemarin, keadaan jauh luar biasa, sejak nenek dari ayahnya tiada, ayah Arisa jarang pulang kerumah, karena itu ibu dan kakaknya jadi tidak beraturan, ibunya stress hingga selalu pulang malam, kakaknya terjebak pergaulan bebas yang mengharuskannya di rehabilitasi. Arisa jadi sering sendiri dirumah, namun dia tetap tabah, shalat tahajud tak terlewatkan setiap malam. Beribu-ribu kali Arisa berharap keajaiban datang di setiap do’anya, yaitu; kebahagiaan. Sungguh langka untuk dapatkan kebahagiaan itu untuknya. Selesai makan, dicucinya piring dan gelas itu sendiri, Arisa memang sudah terbiasa hidup mandiri, walau dia berada dilingkungan orang terpandang sekalipun, namun hatinya tak luput merasakan kelam ini.

“cupid, kaulah ibuku, ayahku, kakakku, nenekku, sahabatku, kebahagianku, hanya kau yang temaniku.” Arisa menatap sedih kucingnya, cupid adalah yang paling ia sayangi di dunia ini. Arisa tak tahan lagi, dikemasnya semua perlengkapan, baju, buku, novel-novelnya, keperluan sekolah, dan pribadinya, tak luput disertakan kedalam tas koper besarnya, makanan cupid juga turut dibawanya. Sejumlah uang, dan bingkai foto keluarga disertakan. “cupid, kita pergi dari sini, neraka dunia ini sudah terasa cukup bagiku.” Arisa dan cupid pergi meninggalkan rumah, bersama koper besarnya, dikuncinya rumah megah tersebut, dia taruh kunci rumah di kotak rahasia, yang tidak seorang pun mengetahuinya. Arisa sudah tak pikirkan lagi, jika ibunya atau ayah, dan kakakknya mencarinya, bahkan mungkin sudah tidak ada Arisa Rushelinne Radinata dipikiran mereka. Arisa menengok kerumahnya. “aku takkan menyesal meninggalkan sejuta kesedihan ini.” Lalu ditutupnya pintu gerbang yang megah itu.

Malam ini, tak ada lagi kasur empuk, ruangan ber-AC yang dingin, peralatan yang lengkap dan super canggih, bahkan Arisa meninggalkan semua gadget yang diberikan orang tuanya. Hanya beralaskan koran yang diberikan pemilik emperan toko sebelum meninggalkan Arisa dan menutup tokonya. Bantal kecil dan selimut menjadi pelengkap malam Arisa, cupid tidur dikandangnya, disamping Arisa, ditutupi kain agar tak terlihat oleh orang lain, koper dan lainnya ditaruh berada dekat Arisa.
Tidur Arisa nyenyak namun Arisa khawatir akan ibunya yang akan semakin menjadi jika tidak diingatkan olehnya, sehingga dimalam yang dingin, Arisa terbangun, membereskan peralatannya, kemudian pergi bersama cupid meninggalkan tempat itu. Arisa tak ingin kembali ke rumah, dia dan cupid pergi menyusuri jalan ibu kota yang ramai, cupid setia mengikutinya dari belakang, kini bulu cupid yang putih dan halus, karena selalu dirawat, menjadi kusam. Arisa masih dengan pakaian lamanya, terlihat kumal. Bahkan ketika arisa sedang beristirahat, dianggap pengemis oleh orang yang berlalu lalang, diberinya uang logam 500 rupiah, tapi cepat-cepat Arisa serahkan kembali uang itu, dan segera berjalan.

Hingga akhirnya langkah Arisa terhenti didepan Masjid yang megah, Arisa mengambil air wudhu dan shalat malam, ia juga tak lupa membersihkan diri, “ya Allah, benahkanlah ibuku, agar beliau kembali kejalan-Mu, begitupun ayahku, dan sembuhkanlah kakakku, jadikanlah mereka hamba-Mu yang senantiasa Engkau jaga, ya Allah semoga jalan yang kuambil ini yang terbaik, dan kembalikanlah keutuhan keluargaku seperti semula. Amiin…” Arisa mengakhiri shalatnya dengan air mata yang membuat jalurnya sendiri dipipi merahnya karena sedih yang dia rasakan. Dilipatnya mukena yang ia bawa dari rumah, di teras masjid, cupid masih setia menunggui barang-barang bawaan Arisa, cupid memang sudah seperti sahabat, dan bukan lagi seperti peliharaan, karena cupid-lah yang menemani suka-duka Arisa selama ini.
“dik, sudah malam, gak baik anak perempuan keluar malam-malam begini, lebih baik malam ini, adik dengan kucingnya menginap disini bersama istri bapak dikamar, kebetulan bapak kebagian ronda hari ini.” Ucap seseorang panjang lebar ketika Arisa menengok ke belakang.

Arisa masih ternganga, ia tak langsung percaya, dengan bapak-bapak yang tampaknya marbot masjid tersebut. “saya marbot masjid ini.” Bapak itu memperkenalkan diri, berusaha meyakinkan. Arisa masih terbingung, karena jiwanya sedang terluka.
Tanpa sadar, Arisa mengikuti langkah lelaki itu yang menunjukkan kamarnya, didalamnya, seorang wanita, yang tampak seperti istri pak marbot itu sedang melipat pakaian, seperti sendiri saja? Dimana anaknya? Arisa bertanya gusar dalam hati. “bu, anak ini sendiri saja, menginap hari ini tidak apa kan bu?” pria itu meminta izin kepada istrinya. Istrinyapun mengijinkan, bahkan tidak keberatan sama sekali, karena ia cukup kesepian sampai saat ini, belum dikaruniai anak. Namanya bu Mirah, ohh… Arisa mengangguk paham. Arisa balas memperkenalkan diri, dan menjelaskan sampai ia akhirnya bertemu bu Mirah di masjid ini.
Malamnya Arisa rasakan dengan indah, sungguh bahagia perasaannya saat ini, ia tidur bersama wanita yang sabar, pengertian, sudah dianggapnya seperti ibu sendiri. Bu Mirah pun memakluminya, beliau sungguh bahagia akan kedatangan Arisa, sikap pak Gusto, suami bu Mirah, pak marbot tadi, juga sangat menerima Arisa, bahkan mereka menganggap Arisa seperti anaknya.

3 hari sudah Arisa menumpang di masjid tersebut, membantu-bantu bu Mirah, membersihkan masjid, dan pak Gusto merapikan rumput di taman masjid. Cupid bebas tidur dan bersantai-santai di kebun, Arisa terkikih memperhatikannya. Dia tersandar di pohon mangga, di taman masjid, teringat keadaan rumahnya, akankah ada yang mencarinya? Terbesit ide di benak Arisa, ia memutuskan untuk menengok sebentar keadaan rumahnya, bersama Cupid, Arisa berpamitan sebentar kepada orang yang sudah ia anggap seperti keluarga, dan sebaliknya. Bu Mirah tercengang mendengar permohonan Arisa untuk pergi sebentar ke rumahnya, padahal bu Mirah serasa tak ingin berpisah dengan Arisa. Setelah dijelaskan bahwa Arisa hanya main saja, dan tidak berniat untuk pulang, izin yang ditunggunya didapat. Sebagai bukti bahwa Arisa tidak akan pulang, dan tetap tinggal bersama keluarga pak Gusto, ditinggalkannya barang-barang bawaan serta semua perlengkapan, yang dijaga oleh bu Mirah di kamar yang terletak di belakang masjid megah tersebut.

Setengah perjalanan ditempuhnya, Arisa dan Cupid terasa lelah, terduduk di pinggir jalan kota yang sarat akan asap dan debu yang tebal tersebut untuk melepaskan lelahnya, lalu Arisa meneguk air mineral yang dibelinya tadi di warung kolong jembatan, yang belum tentu terjaga kebersihannya, mengingat Arisa selalu terjaga dalam hal kebersihan dan sebagainya aturan ala orang terpandang. Kemudian mereka kembali berjalan, hingga akhirnya terpaku didepan pintu gerbang nan megah setinggi 2 meter itu. Tatapan Arisa lurus-lurus menusuk melalui celah-celah yang tersisa di pintu gerbang. Terlihat rumahnya yang penuh debu, seperti tak berpenghuni. Apakah selama aku pergi dari rumah, ibu atau ayah, sama sekali tidak pulang kerumah? Lalu, apakah mereka tidak mencariku? Mencoba menemuiku? Berharap aku mengabari mereka? Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi memadat terasa sesak di lubuk hatinya.
Arisa membuka pintu pagar tersebut, halaman bunga bak seluas labirin di pesta dansa dalam cerita Cinderella lesu tak terawat, lampu-lampu di taman pecah, seperti terasuki gigitan binatang atau… apalah. Pemandangan yang asing bagi Arisa, jauh berbeda dibandingkan 3 hari yang lalu, rumah megah tersebut layaknya rumah hantu yang tak berpenghuni, pengang yang Arisa rasakan, sangat mencuri rasa bersalah, Arisa jadi menyesal meninggalkan rumah itu, namun hatinya kembali berbalik, ia tetap teguh pada pendiriannya kini.

Arisa mengambil kunci rumah dikotak rahasia, ngiik… pintu rumah Arisa berdecit ketika dibuka, Arisa melongok kedalam, mencari sinyal kehidupan, namun tak didengarnya suara apapun, hanya tikus yang melewati tempat Arisa berdiri. Argghhh… arisa tersentak, lau berteriak hingga terdengar seseorang memanggilnya, “siapaa…? Jangan ribuuutt…!” suara itu terdengar dari dalam rumahnya. Arisa bergeming dan tak menghiraukan, kemudian Arisa menelusuri rumahnya, berbeda sekali keadaan di luar dan didalam rumah, di luar sangat kotor dan tak terawat, namun didalam bersih mengilat.
Langkah Arisa sampai ke lantai atas, lalu membuka pintu kamarnya, semua rapih. Arisa terdiam sesaat. Ia jadi penasaran dengan suara tadi. “saya Arisa, siapa yang berbicara tadi?” Arisa menjawab dan berteriak sekeras-kerasnya. Terlihat bayangan yang bergerak cepat ke arahnya, kemudian seperti hendak membuka pintu kamar Arisa. Arisa bergidik. Ia gemetar. “…” tanpa suara! Bayangan itu perlahan membuka pintu kamar Arisa. Arisa yang menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal jadi tak ingin melihat. Bayangan itu menghampiri Arisa! Mendekat! Semakin dekat! Argghhh… siapaa kamuuu…!! Arisa memekik.

“Arisa, ini Mam.” Ternyata penyebab Arisa takut, adalah bayangan ibunya. Arisa memanggilnya dengan sebutan ‘MAM’. Arisa keluar dari dalam selimutnya, mengintip keluar dan menemukan ibunya sedang duduk disamping ranjangnya. arisa tidak menghampiri namun ia memojok seraya menyeret selimutnya agar terus menghangatkan batinnya. Ia masih tak percaya, wanita yang dilihatnya sekarang telah berbeda. Mengenakan jilbab, berpakaian muslimah, dengan senyum manis terpampang di wajahnya menyediakan tempat yang hangat disisi Arisa. “ini mam? Sungguh-sungguh mam yang Arisa kenal? Mam, ibu Arisa?” deretan pertanyaan diluncurkan, oleh rasa penasaran dan ketakjubkan Arisa melihat ibunya sekarang. Ia tak lagi mengurung dirinya dengan selimut tebal, dan mulai memperlihatkan wajahnya, masih dengan raut tercengang! Ibu Arisa menghampiri putri kesayangannya, memeluknya… memberikan sepenuh kasih sayang yang selama ini dirindukan Arisa.

Ibu Arisa menceritakan semuanya, semua yang telah terjadi selama kepergian Arisa dari rumah, ibunya sadar, dan kini beliau bertaubat ke jalan Allah, Ayahnya sedang dalam perjalanan pulang kerumah, ternyata selama ini Ayah Arisa pergi kedesa, dan dengan suatu alasan yang menyebabkan Ayah Arisa tidak mengabari keluarganya. Lalu Kakaknya, yang sedang dalam masa rehab, akan segera dipulangkan karena dianggap sudah sembuh. Dan Ibunya, beliau sudah hadir disisi Arisa, mengganti semua kesalahan yang selama ini menghilang dari hadapan Arisa. Sungguh bahagia hati Arisa, terasa pulih dari keterpurukan selama ini. Arisa bersyukur kepada Allah SWT, yang telah mengabulkan do’anya selama ini, semua yang diinginkan Arisa terwujud, K.E.B.A.H.A.G.I.A.A.N! Alhamdulillah… sujud syukur Arisa panjatkan kepada Allah SWT dalam shalat maghrib berjamaah dengan keluarga yang kini utuh kembali, keluarga yang sangat didamba-dambakan Arisa selama ini.

Hari ini adalah hari yang berharga untuk Arisa, karena pada pagi ini, keluarga Arisa dapat sarapan bersama, seperti 1 tahun yang lalu, senyum lebar dibibir Arisa tak berhenti mengembang, begitupun keluarganya. Sesuatu yang lain dihari ini karena umur Arisa tepat 14 tahun, dan hari ini tanggal 14 February, hari valentine. Walau keluarga Arisa tidak merayakannya, namun Arisa lahir ditanggal yang bertepatan dengan Valentine’s Day. Kado Ulang Tahun yang paling berharga, yang takkan terganti, yang terindah selama hidupnya, didapatnya di tahun 14 tanggal 14.
Bahagia terindah dihidup Arisa, juga sejuta pengalaman berharga yang takkan pernah dilupakkannya, yang juga membuat Arisa semakin bersyukur dengan keadaanya sekarang. Dahulu Arisa bagai debu, Sekarang, dia dapatkan manisnya hidup, bagai menemukan sepotong cokelat yang terpendam selama ini.

Arisa teringat dengan keluarga sementaranya di Masjid disana. “Mam, Pap, Kak, Arisa masih punya satu permintaan di hari ulang tahun Arisa ini.” Ibu Arisa menanggapi, “Apa Nak? Apapun yang Arisa minta, selama masih bisa kami sanggupi, akan diberikan.” Jawab Ibu Arisa dengan senyum tipis disudut bibirnya. Sementara Ayah Arisa sangat berusaha memotong daging dipiringnya. “Mam, Pap, kalau boleh Arisa minta diantarkan kesuatu tempat?”
Arisa memperjelas semuannya. Dia ingin mengunjungi tempat Pak Gusto. Semua menuruti keinginan Arisa, walau belum paham maksud tujuannya. Sesampainya Arisa dan Keluarganya di muka Masjid Al-Jannah, masjid yang selama 3 hari Arisa tinggali, Arisa langsung menemui Pak Gusto yang sedang memotong rumput. “Arisa… kamu kemana saja? Katanya hanya menengok rumah, tapi tidak pulang!” Arisa disambut dengan segerombol pertanyaan. Bu Mirah menyambut Arisa dengan suka cita, dirangkulnya Arisa penuh kasih sayang.

Lalu Keluarga Arisa dan Keluarga Pak Gusto berembuk, Ayah Arisa menceritakan maksud kedatangannya, rupanya Arisa menginginkan agar Pak Gusto dan Bu Mirah bekerja dirumahnya. Keduanya mengangguk setuju, dan mereka sangat berterimakasih kepada Arisa karena telah membantu perekonomiannya. Arisa membawa barang-barang yang tertinggal di masjid, lalu bersama keluarga Pak Gusto, menuju ke rumah Arisa yang megah, sebelumnya Arisa telah meminta izin kepada Rukun Tetangga setempat, untuk membawa Keluarga Pak Gusto bekerja dirumahnya.

Kini hari-hari Arisa berisi keceriaan, dengan Cupid yang menjadi saksi suka maupun duka Arisa selama terpecahnya keluarga Radinata. Lalu Pak Gusto dan Bu Mirah sangat bahagia, dan sudah dianggap keluarga oleh Keluarga Arisa. Malam ini, tidur Arisa nyenyak sekali, Ibunya dan Bu Mirah menemani disisinya, sungguh malam yang tak pernah Arisa bayangkan sebelumnya. Arisa tak lagi berharap tidur di mimpinya, dia sudah terbangun dari impiannya yang telah berubah menjadi kenyataan, Arisa mengigau disela-sela tidurnya, “telah kusibak debu yang menyesak ini, dan kutemukan manisnya cokelat tertanam didalamnya...”



Karya: Ghina Widad Lifyana
Thanks for read! ©Ghina's Blog